setelah di edit
Oleh :
Chairunnisa Nur Amanda
Pohon-pohon tinggi, padang rumput
yang luas dan sungai yang sangat besar hanya itulah yang bisa kubayangkan.
Menemani mimpi-mimpiku setiap hari, menghantui pikiranku dan mungkin semua
teman-temanku. Kami hanya anak anak pengusaha yang terjebak di kesibukan kota
karena orang tua kami. Fardi dan Denandra, itulah kedua sahabatku yang memiliki
impian yang sama denganku, yaitu pergi ke alam bebas atau mungkin tinggal
disana.
Suatu hari kami bertiga punya suatu
rencana. Minggu depan sekolah kami akan mengadakan widya wisata ke hutan dan
kami bisa kabur ke hutan sana.
Aku heran, mengapa banyak orang yang
ingin pergi ke kota. Mungkin mereka pikir kota adalah surga, pengharapan bagi
mereka. Tetapi sesampainya di kota, mereka yang tidak memiliki keahlian akan
menjadi orang yang lebih buruk. Yang ada di pikiran mereka adalah kota dengan
gedung bertingkat dan rumah mewah, tetapi sebenarnya yang ada disini adalah
orang-orang miskin dan perumahan kumuh.
***
“Hai kamu yang berdiri disana! Siapa namamu?“
tanyaku kepada dua orang yang sedang melamun di jendela.
“Namaku Fardi dan ini sahabatku Denandra.” Fardi
menjawabnya dengan sedikit amarah karena aku telah mengganggunya.
“Sedang apa kalian disana? “ tanyaku lembut tak seperti
sebelumnya.
“Kami sedang berpikir, berpikir tentang alam
bebas. Aku ingin sekali pergi ke hutan atau padang rumput yang tidak ada orang.
Agar aku bisa terbebas dari kota yang sibuk ini.” jawab Denandra.
Begitulah perkenalanku dengan mereka berdua. Ide,
pikiran, dan mimpi yang sama menyatukan kita.
***
Rintik rintik hujan membasahi
bajuku, dengan cepat aku mengambil payung dari dalam tasku. Tetapi tiba tiba
ada yang mengagetkanku dari belakang.
“Bim! Katanya mau ke alam bebas. Tetapi hujan
gerimis aja, langsung ngambil payung.” Denandra mengagetkanku dari belakang.
“Ngapain
sih kamu disini, kalau hujan nggak pake payung terus ketahuan basah kuyup sampe
rumah bisa habis dimarahi aku sama mamaku.” aku harus membalasnya dengan nada
marah bercampur kesal.
“Ah kamu anak mami, jadi laki-laki kok kayak gitu.
Kayak aku dong hujan gerimis mah bukan apa-apa.” ucapnya santai.
“Kamu itu gimana sih nasihat orang tua itu harus
dituruti itukan demi kebaikan kita juga.” jawabku. Denandra langsung pergi
menjauh dariku dan aku kembali mengambil payungku. Sembari aku berjalan aku
masih memikirkan kata-kata Denandra tadi muncul berbagai tanya dalam otakku.
“Apakah aku memang anak
kota dan tempatku bukanlah di alam bebas?” kira-kira begitulah kata-kata
yang menghantuiku.
***
Hari itu hari yang kami
mimpi-mimpikan. Yaitu hari dimana kita akan pergi ke alam bebas dan
menikmatinya. Sekolah kami mengadakan widyawisata ke suatu desa di –pedalaman.
Tepat di sebelah desa itu, adalah hutan dengan sungai yang besar. Inilah saat
yang tepat untuk menjalankan rencna kami.
“Kalian jangan pergi kemana-mana ya, jangan keluar
dari desa, karena di hutan disana cukup berbahaya.” kata-kata itu hanya
terlintas di telinga kami. Kami bertiga mengabaikannya dan segera menyusun
rencana.
“Ayo sini! Jangan sampai kita ketahuan,” bisikku
kepada Fardi dan Denandra.
“Jadi begini rencananya,“ Denandra menjelaskan
kalau ada sebuah jalan yang bisa mengantarkan kita ke hutan. Tetapi, untuk
pergi ke hutan kami tidak boleh ketahuan oleh guru-guru, kalau tidak, kami
bertiga bisa dinasihati panjang lebar.
Kami segera menjalankan rencana
kami, berjalan menuju ke hutan melewati jalan setapak yang sempit. Denandra
berjalan paling depan, aku ditengah, dan Fardi di belakangku. Tak ada rasa
takut dan khawatir dalam benak kami, walau kami tahu kalau di dalam sana ada
bahaya yang mengintai.
Kami terus berjalan dan kami tak
tahu kami ada dimana. Berkali-kali aku bertanya kepada Denandra, “kita ada dimana,
dan apakah kita sudah sampai ?“ dan berkali-kali pula Denandra menjawab, “terus
saja berjalan, kata warga disini lurus terus saja, sampai ada sungai besar.
Nah, disitu kita sudah sampai,“
***
“Aku sudah capek nih, berhenti dulu sebentar.” kataku.
“Sudahlah jangan manja, sebentar lagi juga sampai.
Jangan jangan kamu takut ya?“ jawab Denandra. Begitulah sifat Denandra, dia
anak yang pemberani, tetapi terkadang, ia menyebalkan karena kebiasaanya
mengejek teman.
Disini tidak ada orang, hanya ada
suara burung dan jangkrik, serta cerita dari mulut kami. Sampai akhirnya, Fardi
mengatakan, “sebentar lagi kita akan sampai, aku mendengar suara gemericik air
dari sungai,” katanya. Kami bertiga menyambutnya dengan gembira, dan segera
berlari menuju sumber suara. Kami berlari dengan riang gembira seolah tak ada
halangan di depan kami.
“Berhenti!“ teriakku.
“Kenapa kita berhenti?“ tanya Fardi.
“Karena kita sudah sampai, lihatlah!“ kataku
sambil menunjuk ke arah kanan. Di sana terdapat sebuah air terjun yang sangat
besar dengan sungai di bawahnya.
Air terjun itu mengucurkan air yang
sangat banyak. Di bawahnya terdapat sungai yang mengalir deras. Di sekeliling
sungai ini, terhampar hutan yang sangat luas dengan pohon pohon besar
didalamnya. Ikan ikan kecil berenang di dalam sungai dengan riang gembira, tak
ada manusia yang mengganggu mereka.
“Inilah alam bebas, akhirnya impian kita
terwujudkan!“ teriakku kencang dan lantang. Tak ada pula yang mendengar,
mengapa harus ditahan?
“Jangan berteriak terlalu kencang!“ Fardi memotong
ditengah-tengah teriakkanku.
“Kenapa? Apa yang salah?“ tanyaku.
“Disini bukan hanya kita bertiga,“
“Memang ada siapa?”
“Disini ada binatang, tumbuhan, dan sang penunggu
hutan,“ jelas Denandra.
“Sang penunggu hutan? Memangnya, siapa dia?“
tanyaku.
“Sudah jangan ngomongin itu lagi nanti dia dengar.“
Seketika kami bertiga terdiam dan
saling memandang. Denandra yang menurutku pemberani, ternyata ketakutan jika
mendengar hal seperti ini.
***
Tiba-tiba ada seseorang dari kami
yang berkata “kita pulang saja
yuk...,“. Aku menoleh ke belakang, tadinya kupikir kata -ata seperti itu yang
akan keluar dari mulutku, tetapi ternyata, yang berkata tadi adalah Denandra.
Dia yang mengajak kami ke sini, tetapi nyatanya, ia malah ketakutan seperti
ini.
“Katanya kamu pemberani, kok begini saja kamu
sudah takut setengah mati. “ tanyaku
“Sebelumnya aku minta maaf kepadamu karena telah
mengejekmu selama ini. Karena sebenarnya kata-kata yang keluar dari mulutku
kepadamu adalah kata-kata untukku. Dan sejujurnya aku rindu kepada kedua orang
tuaku dan sebelum melakukan rencana ini, aku sudah takut tetapi ini semua demi
mewujudkan impian kita bersama. “ jelasnya
“Maksudmu?“ tanyaku kepada Denandra seolah tak
percaya.
“Aku seorang penakut.“ ucapnya. Aku ternganga
mendengar pernyataan dari Denandra. Ternyata semua yang dia lakukan semua ini
hanyalah acting belaka. Tetapi yang
membuat aku takjub adalah, dia rela mengorbankan ketakutannya untuk impian kami
bertiga.
***
“Terus bagaimana cara kita pulang?“ tanyaku.
“Aku juga tidak tahu, kan tadi aku sudah bilang
kalau aku hanya mengetahui jalan masuk tetapi tidak mengetahui jalan keluarnya.“
sifat egoisnya keluar lagi, begitulah Denandra.
“Sudahlah, tamat riwayat kita.“ ucap Fardi sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Mulailah kami bertiga menjelajahi
hutan mencari jalan keluar. Tak terasa hari sudah semakin sore dan sebentar
lagi malam akan tiba. Aku, Denandra dan Fardi panik dan berusaha menelepon
orang tua kami melaui telepon genggamku. Tetapi apa daya sinyal saja tidak ada
bagaimana mau menelepon.
Ditengah perjalanan kami menemukan
sebuah gubuk kecil di hamparan padang rumput yang luas. Tiba-tiba Denandra
jatuh pingsan dan mukanya membiru. Kami segera membawanya ke dalam gubuk itu
untuk meminta pertolongan. Di dalam gubuk itu kami mendapatkannya dalam keadaan
kosong atau tidak ada orang. Kami segera memberi Denandra minum dan berusaha
menyadarkannya.
Setelah ia sadar kami mendengar ada
seseorang yang mengetuk pintu begitu keras dan mengucapkan salam. Setelah
mendengar ketukan pintu itu, kami merasa tenang karena berarti ada seseorang
selain kami. Tetapi Denandra menjadi pingsan kembali.
Kami berdua membuka pintu, dan di depan
kami ada seorang lelaki tua yang ingin pulang.
“Kek, Kakek mau kemana?” tanyaku.
“Saya mau pulang, Nak,” jawabnya.
“Memangnya, rumah Kakek di mana?”
“Rumah Kakek itu, yang sekarang
kalian sedang tempati,”
Dengan perasaan malu, aku
mempersilahkan sang Kakek untuk masuk ke rumahnya sendiri. Setelah semuanya
duduk, kami berbincang kecil dengan Kakek. Aku penasaran dengan dia. Mengapa ia
tinggal di sini? Padahal kan hutan ini dekat dengan suatu pedesaan. Saat Kakek
menjelaskan panjang lebar, hari juga semakin malam. Kami pun disuruh untuk
istirahat, walau aku harus bersusah payah untuk tidur dengan keadaan masih
bertanya-tanya.
***
Nama dia
adalah Kakek Diman, dahulu ia adalah seorang polisi hutan yang paling disegani
di daerah itu, sehingga tak ada penebang liar yang berani ke hutan itu. Tetapi
pada suatu hari, rumah tempat tinggal ia dan keluarganya terbakar saat ia
sedang bekerja sehingga harta, nyawa istri, dan anaknya habis terbakar oleh
sang jago merah. Sejak saat itu, pikirannya menjadi berantakan dan ia
memutuskan untuk lari ke hutan.
Sampai saat
ini, Kakek Diman masih mencoba melawan para penebang liar sendirian. Dia
melawan mereka dengan penuh susah payah karena usianya yang sudah tua dan
badannya yang kurus serta bungkuk, ditambah dengan para penebang yang
menggunakan teknologi canggih. Oleh karena itu, ia mengubah namanya menjadi Mbah
Rondo yang sering disebut-sebut sebagai ‘Sang
Penunggu Hutan’ untuk menakut-nakuti para penebang liar. Jadinya, para
warga desa menjadi tidak mau pergi ke hutan itu karena kehadiran sang Mbah
Rondo mereka pun membuat cerita tentang Mbah Rondo. Tetapi semua itu berkebalikan
dengan Kakek Diman.
***
Keesokan harinya, giliran aku dan
Fardi yang bercerita, karena Denendra masih tidak mau terbangun. Kami bercerita
kalau kami tersesat di hutan dan butuh pertolongan. Kakek Diman bersedia
menolong kami dengan satu syarat.
“Saya bersedia menolong kalian, tapi dengan satu
syarat, yaitu kalian bertiga harus menolong saya melawan para penebang liar
itu,“ jelasnya
Denandra terbangun dengan kondisi ketakutan dan
tegang, serta tak berkata apa-apa. Kami langsung mengajaknya pulang dan ia
berteriak.
“Apakah kita sudah bisa pulang? Memangnya, kalian
bisa?” tanyanya ragu.
“Tentu saja, kan ada seseorang yang bisa membantu
kita, tapi kau tidak perlu tahu dia siapa,” jawabku santai.
***
Kami telah sampai di tempat para
penebang liar itu beraksi. Ada orang yang membawa tali, gergaji mesin, dan juga
kapak. Dengan muka garangnya, mereka menebangi pohon-pohon satu persatu,
sedikit demi sedikit lama lama satu truk penuh dengan kayu-kayu haram hasil
curian.
Sedang memperhatikan mereka
melakukan aksinya, kami berbisik satu sama lain. Tiba-tiba ada yang menyergapku dari belakang
dan berkata, “ngapain kamu disini?” dengan nada marah dan suara rendah. Aku
tidak sempat melihatnya tetapi yang kulihat hanyalah kulit yang hitam legam dan
kumis panjang. Sebelum sempat meminta tolong, mulutku sudah ditutup dengan kain
dan tanganku diikat dengan tali.
Aku diseret
ke sebuah tempat yang gelap. Disana ada
Denandra dan juga Fardi tetapi tidak ada Kakek Diman alias Mbah Rondo. Tak lama
kemudian datang seorang lelaki berkulit putih tak berambut dan Denandra berkata
kalau ia mengenalinya. Denandra bilang lelaki itulah yang memberi tahu jalan
menuju hutan kepadanya. Lelaki itu berkata, “ngapain kalian disini? Bukankah
seharusnya kalian sudah kembali ke kota kalian? Kalian mau kabur, atau mau uji
nyali sama Mbah Rondo?“ teriaknya sambil marah-marah dan membanting pintu.
Lelaki itu terus memarahi dan meneriaki kami. Kami bertiga berusaha menahan air
mata yang keluar dan membasahi mata kami.
***
Lelaki itu terjatuh ketika ada orang yang menendangnya
dari belakang. Rupanya, orang itu adalah seorang polisi hutan yang dipanggil
oleh Kakek Diman. Betapa terkejutnya kami, karena dengan mata yang basah orang
tua kami masuk kedalam ruangan ini dan memeluk kami satu persatu.
“Aku berjanji tidak akan kabur lagi.“ ucapku
kepada Ibuku, “aku kabur, karena aku tidak suka di kota yang sibuk dan ramai,
aku berharap agar bisa pergi dari kota,“ tambahku.
Akan tetapi, Kakek Diman menghilang
dan kami tak tahu dia berada di mana, padahal, ucapan terima kasih kami belum kami
sampaikan kepadanya.
jangan bosen menulis... menulis dan menulis..... supaya nanti terbiasa
BalasHapus