Pelarian dari Dunia #serius

Berikut adalah cerpen yang saya buat untuk ujian praktik Bahasa Indonesia SMA.

Pelarian dari Dunia

Zainar Zanuar melangkahkan kakinya keluar kapal pribadinya, menginjakkan sepatu kulit dari Eropa itu ke pasir pantai yang kelam. Angin berhembus kencang dari segala arah, pertanda badai malam ini akan mengunjungi Gembong. Dia tolehkan kepalanya ke seluruh arah, melihat dinding dan beton yang berisi manusia-manusia tanpa harapan.
Gembong adalah tempat tinggal manusia-manusia paling keji. Pembunuh, pengedar narkoba, pencuri, dan pengkhianat. Letaknya di sebuah pulau terpencil yang hanya akan ada pengunjung tiga bulan sekali. Jaraknya kurang lebih 150 kilometer dari kota terdekat yang penghuninya juga jarang. Kriminal di dalamnya akan menunggu tanggal hukuman mati mereka, setiap hari mereka hidup dalam kegelisahan. Tidak ada yang pernah berani untuk keluar dari Penjara Gembong. Ini adalah tempat terakhir mereka di dunia.
Mahmud sang kepala penjara menjemputnya di pintu masuk utama,
“Selamat datang, Pak. Kami telah menyiapkan segalanya untuk kedatangan Anda.”
Kini kaki Zainar telah melangkah di lantai dingin itu, dengan detakan sepatunya mengisi seluruh ruangan. Para anak buahnya juga mengisi nada detakan itu dengan sepatu-sepatu kulit lembu mereka. Irama itu makin mengerikan dengan tawa lantang berpadu jeritan dari ruang makan.
“Tuan Darma telah menunggu Anda, Pak.” Kepala sipir yang kasar itu mencoba dengan sedemikian rupa bernada ramah kepadanya. Darma duduk diseberang meja, dengan luka memar di kepalanya dan sayatan di tangan kirinya. Dengan sigap ia berdiri seketika Zainar menghentakan sepatunya ke ruangan dingin itu.
“Ini saatnya, Darma. Tugasmu berakhir disini dan sayangnya jika engkau berhasil nanti kau tidak pernah dikenal sebagai Athar si mata-mata, melainkan Darma si pembunuh licik.” Ucap Zainar dengan tegas dan tenang.
“Sudah menjadi risiko saya. Saya hanya minta doa untuk kembali dengan selamat.”
“Sayang, Darma. Hari ini saya datang untuk memberi perintah baru.” Sontak Darma melayangkan mata tajamnya menatap Zainar.
***
Amu, Batari, dan Chairil menunggu dengan senyap di dalam sel mereka. Tiga detakan jarum jam menandakan kedatangan Zainar, sang kepala intelijen. Setelah langkah pertamanya, maka mereka akan segera membuka poster gadis manis itu dan menuju lubang kelinci mereka. Rencana setahun penuh itu akan dimulai dari saat jarum panjang di angka dua belas.
Geng Tiga Kera, penjual obat-obatan kelas kakap yang ketiga anggotanya manusia-manusia jenius. Amu, Batari, dan Chairil, ketiganya lulus universitas dengan predikat sempurna. Tidak hanya menjual, bahkan mereka bisa membuat narkotika baru yang lebih memuaskan. Lima belas tahun sudah mereka menjadi incaran dunia kepolisian. Tapi ternyata Zainar Zanuar lebih pintar dari mereka, Tiga Kera terjebak di gudang tua saat transaksi dan siapa sangka Zainar telah menangkap basah mereka. Kini sudah tiga tahun lamanya tiga jenius perusak generasi itu mendekam di Penjara Gembong. Sambil menunggu hukuman mati yang tidak jelas tanggalnya. Untung saja 20 Desember sudah jelas menjadi hari bebas mereka.
***
Didakwa membunuh sekelompok tokoh parlemen, Darma ditempatkan di Gembong. Dengan kaki pincangnya ia tetap bersikukuh kalau ia tidak bersalah. Hingga suatu hari rupanya Tiga Kera mendekatinya.
“Kudengar kau ingin lari.” Batari duduk di kursi meja makan sebelahnya.
“Dusta! Kau pikir aku bisa lari? Si Zainar sialan itu pintar sekali membuat tuduhan.” Darma menjawab sambil menggebrak meja.
“Hei, jadi kau berhadapan dengan si licik itu juga?”
“Ya begitulah.
***
            “Aku punya rencana, pada 20 Desember Zainar Zanuar akan mengunjungi Gembong untuk bertemu Mahmud. Aku mendengar dari percakapan di rapat sipir kalau ia akan berkendara menggunakan kapal pribadinya.” Jelas Darma.
            “Tapi bagaimana cara keluar dari sel kita?” tanya Chairil.
            “Kita akan menelusuri jalan ventilasi udara. Tepat di belakang sel kita ada celah yang bisa kita telusuri.”
***
Singkat cerita, lubang telah mereka buat, dengan peta penjara yang Darma curi dari sipir yang tertidur. Cadangan makanan telah mereka kumpulkan dan alat-alat lainnya telah mereka satukan dalam buntalan sarung bantal. Amu, Batari, Chairil sudah menengok jam sambil meneguk ludah masing-masing, namun Darma tidak terlihat juga batang hidungnya. Saat waktu tinggal dua menit lagi, Darma di lempar ke dalam selnya dengan luka baru di keningnya.
Begitu terdengar bel makan siang, Tiga Kera dan Darma segera meluncur ke dalam lubang kelinci mereka. Menyusuri ventilasi udara dan membuat simpul tali untuk berayun ke pantai yang beradu badai. Semuanya berjalan lancar kecuali perilaku Chairil hari itu.
“Cepatlah Chairil! Gunakan sebatang kakimu yang lihai itu!”
“Anginnya terlalu kencang! Aku rasa aku tidak bisa ikut dengan kalian, biarkan aku melompat ke laut.”
“Teganya engkau menyerah secepat ini, dasar pengecut!” Dengan rasa marah dan lelah, Amu memutuskan tali yang bergantung di lampu itu. Seketika Chairil terlempar menabrak karang lautan.
“Kita hanya punya waktu lima menit untuk segera berlabuh. Jangan hiraukan Chairil, sudah kuduga dia memang penyebab mengapa kita sampai ke Gembong.” Amu bergegas ke pelabuhan yang sepi tanpa pengawal, pas sekali dengan rencana awal mereka. Batari yang mabuk laut mengikuti dengan langkah berayun dan Darma melompat-lompat dengan kaki pincangnya.
Setibanya mereka di pelabuhan, angin dan pasir telah bersinergi untuk menutup jejak kaki mereka. Amu masuk duluan dengan mendobrak pintu kapal milik Zainar, disusul Batari dan Darma dengan napas terengah. Tawa bahagia Amu dan Darma diselingi desahan kelelahan Batari mengisi geladak kapal.
“Darma, segera ambil kemudi kapal ini dan meluncur dengan tenaga penuh ke arah barat.” Amu memberi perintah dan Darma segera meluncurkan kapal curian itu. Sambil berusaha fokus, ia berusaha menutupi wajah cemasnya dengan senyum palsu ketika kata-kata Zainar terngiang berbisik di telinganya.
***
“Aku tahu kau adalah mata-mata terbaik kami, Athar. Sesungguhnya kau harus yakin, tidak ada kepahlawanan paling sempurna dari rela berkorban di medan perang. Ini akan menjadi misi terbaikmu, Athar.”
Setelah Zainar berkata begitu, Athar alias Darma hanya bisa terdiam kaku. Membayangkan apa yang akan ia lakukan beberapa jam ke depan cukup membuat kata hatinya berseteru.
“Jagalah kesehatanmu. Bawalah selimut karena sistem penghangat udara di kapalku telah ku matikan. Penyulingan air juga telah ku rusak dan bahan bakar hanya tersisa untuk perjalanan sehari semalam, juga jangan percaya dengan sistem navigasi.” Zainar kemudian memanggil seorang anak buahnya, ia masuk membawa sebuah tas berwarna hitam polos. Diserahkannya tas itu kepada Zainar dan ia pun menunjukkan kepada Darma isi tas tersebut.
“Ku berikan kau tiga bungkusan kecil ini dan sebuah senapan. Aku harap engkau tahu apa yang harus dilakukan.”
Zainar menutup pertemuan itu dengan melayangkan tinjunya di dahi Athar.
***
Ketika dingin mulai menyelimuti, Amu pergi ke tempat kemudi untuk mengaktifkan sistem penghangat udara. Sayang setelah satu jam lamanya menunggu, suhu masih 15 derajat celsius.
“Darma! Kapal ini sama persis dengan kepunyaanku, tetapi mengapa penghangatnya tidak berfungsi?”
“Entahlah Amu, kasihan Batari yang dari tadi sudah muntah-muntah melewati hitungan jari.”
“Baiklah, aku akan mengecek keseluruhan kapal ini.”
Betapa terkejutnya Amu ketika ia tidak menemukan penyulingan air dan bahan bakar kurang dari setengahnya. Segera ia pergi menemui kedua kawannya untuk menyampaikan kabar buruk tersebut.
“Naas, mati saja kita disini!”
Malam itu, Batari tertidur di pojok ruangan sementara Amu masih mengutak-atik mesin kapal. Sesekali Batari terbatuk-batuk dan mengeluarkan suara yang aneh. Seperti memanggil nama seseorang yang sudah lama ia kenal. Tubuhnya meringkuk kedinginan dan matanya terbelalak lebar. Amu dan Darma juga tidak berani mengganggu Batari, pada dasarnya jalan hidupnya telah membuat ia gila. Jika saja ia tidak bertemu Amu dan Chairil atau ibu kandungnya masih ada ketika itu, mungkin sekarang ia telah menjadi ilmuwan terkenal. Sayang seribu sayang, jalan hidupnya tidak pernah mulus dan ketika ia telah sampai ke puncak kebahagiaannya justru grafik itu dipalu sampai minus.
Sementara itu Darma terduduk sendirian di tanjung kapal, sambil bermain-main dengan gelangnya dan memutar-mutar bungkusan obat dari Zainar di tangannya. Setelah bercerita kepada bintang-bintang, ia pergi mengambil segelas air dan melarutkan obat itu kedalamnya. Sambil menggigil di balik selimutnya, Darma berjalan ke dalam ruangan kapal untuk menemui Batari. Diserahkan segelas obat itu ke tangan Batari.
“Minumlah ini Batari, engkau akan waras kembali di pagi hari.” Ucap Darma sembari tertawa menyembunyikan kecemasannya.
“Pukul berapa sekarang?” Amu menghampiri mereka berdua.
“Pukul 11, cepatlah pergi tidur. Biar aku saja yang berjaga malam ini.” Kata Darma.
Amu dan Batari telah tertidur pulas, Darma kini bisa menikmati kesendiriannya. Dengan hati-hati ia mengambil tiga bungkusan kecil dari Zainar di dalam tasnya.
“Satu untuk makanan, satu untuk dirinya, dan satu untuk tangki air.” Ucapnya dalam hati.
Diambil olehnya buntalan cadangan makanan di dalam lemari pendingin kapal itu. Tanpa bersuara, ia buka bungkusan pertama dari Zainar dan menabur bubuk di dalamnya ke atas roti-roti dan buah-buahan itu. Perlahan ia menutup lemari dan berjalan perlahan ke dapur.
Kini ia mengambil segelas air putih terakhir di dalam tangki dan mencampurnya dengan isi bungkusan kedua. Dengan sekaligus ia minum larutan itu kemudian ia cuci kembali gelas berwarna merah itu. Seusai mencuci ia biarkan air terus menerus mengalir hingga tangki yang tadinya kosong kini terisi kembali, dengan air laut. Lalu ia membuka bungkusan ketiga dan melarutkannya dengan air di dalam tangki. Seketika rasa air tersebut sama saja dengan air tawar yang masak.
Ia tutup kembali tangki itu dengan penutup besinya kemudian Darma duduk di sudut ruangan, dengan posisi diagonal dari Amu dan Batari. Darma menggelar selimutnya di lantai dan duduk di atasnya. Matanya menatap Batari dan meneliti segara gerak-geriknya. Lima menit pertama, Batari normal saja seperti Amu yang tidur di sebelahnya. Tapi ternyata lima menit kemudian mulutnya penuh busa dan tubuhnya kini terbujur kaku seperti mayat.
Melihat itu semua Darma segera menutup matanya, namun bayang-bayang itu masih ada. Sekarang, Batari mulai berteriak hingga membangunkan Amu yang kebingungan.
“Damar, apa yang terjadi padanya?”
“Mana aku tahu? Bukankah kau yang selama ini bersama dengannya.”
“Batari memang mabuk laut, tapi tidak pernah semacam ini.”
Tidak disangka beberapa saat kemudian Batari menghembuskan napas terakhirnya. Tanpa kata-kata dan tanpa akal, ia pergi begitu saja.
“Apa yang harus kita lakukan dengan mayatnya?” Damar bertanya kepada Amu.
“Kita tidak punya pilihan, terlalu berbahaya jika kita tinggal bersebelahan dengannya. Ia harus segera dibuang ke laut.” Amu dengan pasrah menjawab.
“Baiklah kalau itu keputusanmu.”
Darma membungkus Batari dengan selimut tebalnya kemudian ia dan Amu menggotong Batari menuju dek kapal. Saat itu sudah dini hari, ketika matahari terbit di ufuk timur, Amu membuka pintu kapal. Dilemparnya mayat Batari diterangi remang-remang cahaya fajar.
Ketika mereka berdua sudah kembali ke dalam ruangan, Amu seketika terjatuh memeluk lututnya.
“Batari mati karena aku. Akulah yang membiarkan dia mengikuti jejakku menjadi pengedar narkotika. Jikalau ia tidak menemuiku hari itu, mungkin kini dia lah sudah menjadi orang sukses paling baik sedunia.” Curahan air mata membasahi telapak tangannya yang berbau air laut. Darma hanya bisa menatapnya hampa dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya membiarkan Amu tenggelam dalam kesedihannya. Mimpinya untuk menjadi bebas justru diputarbalikkan menjadi sengsara.
Separuh hari itu, kapal tidak berlayar. Hanya terdiam mengangkut dua manusia kehilangan harapan. Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka sampai Darma yang duduk sendirian menatap lautan terkejut dengan deburan ombak. Dilihatnya ke langit awan kelabu yang sudah menutupi sinar matahari. Untuk kedua kalinya, mereka akan berlayar menerjang badai.
“Amu! Badai akan tiba sebaiknya kita jangan berlarut dalam kesedihan. Pikirkan dulu dirimu sendiri Amu!” Damar berseru sambil menuruni tangga kapal menuju ruang di mana Amu terduduk layu.
Namun, seketika Amu mendorong Damar ke tembok sambil berkata,
“Diamlah, kau dasar pengikut!” Damar terkejut melihat wajah Amu yang sangar. Matanya merah sehabis menangis namun bisa menatap setajam pisau ke matanya. Detak jantungnya seakan terhenti seketika ketiha Amu membentaknya. Perawakan Amu yang sama kekarnya seperti Darma membuat kakinya bergetar.
Untung saja belum sampai saraf motoriknya hendak membalas, Amu melemaskan genggamannya dan membiarkan Darma menghela napas panjang. Amu kembali mengatur dirinya menghentakkan tangannya ke dinding. Darma kemudian pergi ke dapur untuk mengambil segelas air dari tangki. Dengan niat baik ia memberi segelas air tersebut kepada Amu. Namun, Amu tidak bergeming dari tatapan kosongnya. Akhirnya diletakknya gelas itu di sebelah tangan Amu yang bergetar.
Dari siang menjelang malam, Darma akhirnya menghabiskan harinya di kemudi kapal serambi berjaga-jaga melawan badai. Dia mengambil tasnya di belakang kursinya. Kemudian mengambil senapan pemberian Zainar dan menyembuyikannya di balik jaketnya.
***
Sementara itu, Amu yang kelaparan terkejut melihat cadangan makanan yang baru berumur dua hari itu membusuk. Lantas ia membuka setiap lemari dan laci yang ada di kapal itu untuk mencari barang sepotong makanan. Namun usahanya itu tidak berbuah hasil. Segera ia ambil segelas air putih dan meminumnya dalam sekali teguk.
“Darma! Apakah kau masih memiliki sepotong roti?” Teriak Amu dari dalam ruangan kapal marah-marah karena kelaparan. Darma segera menuruni tangga dan menyahut panggilan Amu.
“Bukankah kita masih mempunyai banyak cadangan makanan?” tanya Darma dengan pura-pura heran.
“Lihat saja sendiri.” Darma berjalan menuju lemasi es dan terkaget ketika melihat makanan mereka telah berjamur dan dipenuhi belatung.
“Baiklah ambil saja sepotong rotiku ini.” Darma mengeluarkan roti itu dari tasnya. Namun, secara tidak sengaja jaketnya terbuka dan senapan miliknya terjatuh dari sakunya.
Seketika Darma kaku dan merinding memikirkan apa reaksi yang akan Amu lontarkan. Disisi lain Amu memutarbalikkan otaknya memikirkan bagaimana Darma bisa membawa senjata tersebut. Namun, sebelum ia mendapatkan jawabannya tangannya sudah dipelintir oleh Darma dan senapan itu kini ditodongkan ke kepalanya.
“Kutangkap kau, Amu. Sesungguhnya engkau tidak tahu siapa aku.” Darma yang awalnya tegang kini berubah auranya menjadi dingin. Sesaat ia menjelma dari pembunuh tuduhan yang tidak berharapan menjadi agen intelijen paling mematikan.
“Dan kaupikir engkau tahu siapa aku?” Amu melepaskan tangannya yang terpelintir dan merebut senapan yang pada awalnya ada di samping kepalanya, kini ada di tangannya. Tubuhnya kembali tegap berdiri sambil mengarahkan senapan ke wajah Darma. Darma kini mengangkat kedua tangannya, kakinya yang pura-pura pincang kembali ke sedia kala.
Amu bergelut di dunia haram nan kejam ini sejak ia masuk ke universitas. Ia sangat pintar di bidang ilmu pengetahuan dan pandai bela diri dengan tubuh atletisnya. Selepas kuliah ia masuk ke akademi kepolisian, namun di tengah jalan ia keluar tanpa alasan yang jelas. Setahun kemudian ia bertemu sindikat pengedaran narkoba yang paling diincar saat itu. Sayangnya sindikat itu tertangkap aparat dan habis, namun Amu berhasil lolos dan saat itulah ia bertemu Batari dan Chairil. Ketiganya kemudian menjadi pengedar narkotika kelas kakap yang menjadi buron internasional.
“Baiklah, jika engkau tidak tahu aku. Namaku Darma, tentu saja bukan nama asli. Akulah yang menghipnotis Chairil agar menjatuhkan dirinya ke laut, membunuh Batari dengan larutan itu, dan membusukkan cadangan makanan kita.”
“Dan yang terakhir aku yakin kau gagal melakukannya.” Amu berkata sambil waspada.
“Apakah engkau tahu mengapa aku terlambat meluncurkan misi kita? Itu karena Zainar Zanuar menemuiku untuk memberi perintah terakhirnya. Menghabisi geng Tiga Kera.” Seketika Darma menyusun rencana, ia berlari ke luar menuju dek kapal dan Amu membawa senjata sambil mengejarnya.
Darma memutarkan badannya di tiang dan menendang Amu tepat di ulu hatinya.
“Tidak ada artinya engkau selamat dan aku mati!” desah Amu.
“Terima kasih telah mendoakan agar aku selamat.” Darma kemudian mengambil senjatanya yang terjatuh dan tanpa berpikir panjang, segera menembakkan peluru tepat di kening Amu.
Napasnya kini terengah-engah dan dalam kepanikan ia memasukkan senapan itu kembali ke saku jaketnya. Ia berjalan menyusuri dek kapal dengan pontang-panting menuju ruang kemudi dengan bayang-bayang perintah Zainar Zanuar menghantui pikirannya.
Matahari mulai tenggelam ketika ia termenung di ruang kemudi. Tanpa pikir panjang ia jalankan kapal itu ke antah berantah sambil bahan bakar mulai menipis. Ia kemudian mengaktifkan kembali sistem navigasi dan mengirim sinyal ke Zainar. Kemudian ia berlari menuju keluar kembali  sambil menggengam senapannya. Diarahkannya peluru ke segala arah, membuat kaca-kaca di kapal itu pecah bertebaran dan kerusakan di mana-mana.
“Misi terakhirku.” Darma bersandar di pagar dan menjatuhkan dirinya ke lautan. Pikirannya kini terus dibisikkan dentuman-dentuman kata-kata Zainar. Kepalanya yang terlebih dahulu menyentuh air, lalu dengan senjatanya kembali ia habiskan peluru untuk merukan kapal curian itu. Paru-parunya perlahan terisi dengan air dan seolah air-air ini membuat dirinya tidak berdaya. Tangan dan kakinya kaku dan tidak bisa digerakkan. Sepertinya mereka sudah tau ini terakhir kali mereka digunakan.
Mata Darma kini tertutup dan gelembung udara terakhirnya ia hembuskan. “Mati sebagai pahlawan adalah kepatriotan terbaik dari misi sebagai pengabdi, Athar.”


Penulis: Chairunnisa Nur Amanda
Kelas: XII MIPA
Ujian Praktik Bahasa Indonesia
Menulis cerpen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pedoman karya tulis

Resolusi 2017

Karya Tulis SMP Labschool Jakarta